Jumat, 22 Februari 2013

Sejarah Sulsel adalah Sejarah Tau Matoa



Sejarah Sulsel adalah Sejarah Tau Matoa
Posted by ininnawahouse under buku-buku, resensi
Leave a Comment

Sejarah Sulsel adalah Sejarah Tau Matoa, Buku yang disajikan oleh Susan Bolyard Millar ini merupakan sebuah bentuk ketekunan, ketelitian, dan kesabaran yang sangat luar biasa. Susan mampu menyusun proses perkawinan Bugis dan menjelaskan lima proses dalam perkawian Bugis: (1) Pelamaran, (2) Pertunangan, (3) Pernikahan, (4) Pesta Perkawinan, dan (5) Pertemuan Resmi Berikutnya. Yang kesemuanya itu dilandaskan pada prinsip dan tata cara adat.
Membongkar serta mendesain kembali tentang nilai-nilai budaya yang terdapat dalam prosesi perkawinan Bugis, dan penulis juga berhasil mengangkat ke permukaan makna-makna yang melekat dalam pernak-pernik pernikahan yang sering dilewatkan begitu saja. Dia juga mengamati posisi duduk, cara menempatkan nama dalam teks undangan, orang-orang yang diundang melakukan ritus tertentu dalam serangkaian ritus panjang pernikahan tersebut, dengan menggunakan pendekatan Semiotik (simbol, ikon, indeks) dan Semantik (makna kata/kalimat), dari tempat khususnya wilayah di mana ia melakukan riset penelitian yakni di Kabupaten Soppeng Sulawesi-Selatan. Soppeng terletak 175 kilometer di kawasan baratdaya Makassar.
Di dalam buku ini pula, disajikan dengan berbagai macam aspek-aspek yang terjadi sebelum dan sesudah prosesi ritual perkawinan yang dilakukan suku Bugis, khususnya di Kabupaten Soppeng. Bukan hanya itu saja, ia juga memaparkan dengan berbagai macam peran orang yang diamanatkan untuk menjalankan prosesi perkawinan tersebut yang dipandang dari aspek budaya, sosial, politik, dan ekonomi.
Proses perkawinan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada istilah orang yang dituakan atau Tau Matoa, merupakan bentuk pencapaian seperti apa yang harus ditempuh oleh calon pengantin yang disesuaikan dengan bentuk dan keadaan sosial, ekonomi, dan politik pada saat itu.
Tau Matoa juga memiliki peran sentral yang dipandang dari aspek keturunan (penentuan generasi), terbukti Tau Matoa selalu memiliki pewaris. Artinya bisa saja anak atau keponakan Tau Matoa sebelumnya. Tau Matoa yang paling berpengaruh adalah seorang bangsawan yang menikah dengan bangsawan kelas atas. Karena itu, dalam budaya Bugis dapat dikatakan bahwa sifat-sifat unggul diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya.
Sehingga Susan berasumsi bahwa sejarah Sulawesi Selatan adalah sejarah tentang seberapa besar jaringan Tau Matoa, seberapa besar mereka memelihara kualitas keturunan dengan pernikahan serumpun, serta seberapa besar mereka menjaga pertalian kerabat dengan mendorong perkawinan serumpun (endogami) kepada para pengikutnya serta merangkul kekuatan baru dengan strategi perkawinan dengan orang luar (eksogami) dengan rival sesama Tau Matoa atau dengan orang luar yang dapat mendatangkan keuntungan baik dalam bidang usaha, ekonomi, pemerintahan, atau pertahanan.
Susan juga menjelaskan bagaimana kuasa politik dipertahankan berlangsung di Sul-Sel, bagaimana kelompok-kelompok kekuasaan baru terus bermunculan, dan juga bagaimana sistem perkawinan Bugis modern terbentuk dari sistem perkawinan zaman dulu yang bertahan hingga sekarang, yang diulasnya dengan kaitan sejarah etnografi pernikahan, sejarah orang Bugis, pembentukan kerajaan, kerajaan yang muncul pada Abad ke-16 hingga Abad ke-20, revolusi dan pemberontakan pasca-kemerdekaan, kestabilan dalam ketegangan di bawah kekuasaan Orde Baru.
Akan tetapi, semuanya itu menjelma dan terkikis oleh peradaban modern, sampai saat ini. Sehingga budaya, adat-istiadat, dan nilai kesakralan terkikis oleh arus modernisasi, akibatnya, orang-orang (khususnya Bugis-Makassar) tidak lagi mengindahkannya.
Buku ini pula, memberikan sajian tentang tata ruang baru dalam berbagai macam paradigma-paradigma yang dipandang dari aspek sosial, ekonomi, politik, dalam prosesi perkawinan Bugis khususnya di Kabupaten Soppeng Sulawesi-Selatan.

(Nazaruddin, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar)

Sumber : penerbitininnawa

Selasa, 19 Februari 2013

Sagori, Segitiga Bermuda di Kabaena, SULAWESI TENGGARA


Sagori, Segitiga Bermuda di Kabaena, SULAWESI TENGGARA. Kemolekan Pulau Sagori, Kabaena, Sulawesi Tenggara, kerap dinikmati oleh turis mancanegara sebelum tragedi bom Bali Oktober 2002. Pulau itu menyimpan misteri, antara lain seringnya kapal karam. Pantas banyak yang menyebutnya Segitiga Bermuda di Kabaena.
Pulau Sagori di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, itu merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
Wisatawan asing biasanya singgah di pulau itu dengan kapal pesiar setelah mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Buton dan Muna. Di Sagori mereka berjemur di atas pasir putih sambil menunggu bola matahari yang perlahan meredup saat hendak terbenam. Seusai menyaksikan gejala alam yang mengagumkan itu mereka pun melanjutkan perjalanan.
 Sagori sebetulnya lebih menarik jika dilihat dari pegunungan di Pulau Kabaena. Dari ketinggian jarak jauh itu Sagori menampilkan sapuan empat warna, yakni biru tua sebagai garis terluar, biru muda, garis putih, kemudian hijau di tengah. Warna hijau bersumber dari tajuk-tajuk pohon cemara yang melindungi pulau tersebut.
 Jarak terdekat dengan daratan Kabaena sekitar 2,5 mil. Namun, pengunjung biasanya bertolak dari Sikeli, kota pelabuhan di Kecamatan Kabaena Barat, dengan jarak sekitar empat mil atau sekitar 30 menit dengan perahu motor. Sagori merupakan wilayah Kelurahan Sikeli.
 Kata ”sagori” konon diambil dari nama seorang gadis yang ditemukan warga Pongkalaero–kini sebuah desa di Kabaena —pada saat air surut tak jauh dari pulau itu. Gadis itu diceritakan menghuni kima raksasa yang terjebak karena air surut.
 Saat ditemukan, gadis tersebut dalam keadaan lemah tak berdaya. Para pemburu hasil laut kemudian menggendongnya ke sebuah onggokan pasir sebelum dibawa ke mokole (raja) di Tangkeno di lereng Gunung Sangia Wita, puncak tertinggi (1.800 meter) di Kabaena.
 Namun, setelah beberapa saat diistirahatkan di onggokan pasir, gadis tersebut meninggal dunia. Sebelum meninggal ia sempat menyebut namanya, Sagori. Sejak itu penduduk menamakan onggokan pasir itu Pulau Sagori.

Kuburan kapal
 Keindahan Sagori di atas permukaan sangat kontras dengan kondisi alam dasar laut di sekitar pulau tersebut. Belantara batu karang yang terhampar di kawasan perairan pulau itu menyimpan misteri yang menyulitkan para pelaut, bahkan tidak jarang membawa petaka yang amat menakutkan.
 Seperti diungkapkan beberapa tokoh masyarakat suku Sama (Bajo) di Kabaena, karang dan perairan Pulau Sagori hampir setiap dua tahun menelan korban berupa kapal pecah karena menabrak karang maupun korban manusia yang dibawa hanyut gulungan ombak pantai pulau tersebut.
 Musim libur tahun lalu, misalnya, seorang siswa SMA Negeri 1 Kabaena tewas dihantam ombak yang datang mendadak saat dia bersama sejumlah temannya mandi-mandi di pantai. Sebelumnya, seorang ibu mengalami nasib serupa tatkala sedang mandi-mandi di sana.
 Menjelang Lebaran lalu, sebuah kapal kayu kandas kemudian tenggelam di perairan pulau itu saat kapal dalam perjalanan dari Sikeli menuju Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tidak ada korban jiwa, kecuali kapal tak dapat diselamatkan.
 Dua tahun sebelumnya kecelakaan menimpa sebuah kapal dalam perjalanan dari Bulukumba (Sulsel) menuju Maluku dengan muatan sembako dan bahan bangunan.
 ”Tidak bisa dihitung lagi jumlah kapal yang terkubur di dasar laut Sagori,” ujar Uja’ (60), nelayan Sikeli dari suku Bajo.
 ”Kuburan” tersebut termasuk rongsokan kapal layar VOC dan kapal yang diperkirakan berasal dari China di kedalaman sekitar 13 meter saat air surut. Subair (57), Kepala SMP Negeri Sikeli, menemukan kapal tersebut pada 1973. ”Saya yakin itu kapal China karena masih menyimpan harta karun berupa piring antik dan gerabah lainnya,” katanya.
 Menurut Subair, kecuali barang pecah belah, petunjuk lainnya adalah simbol-simbol China pada kapal maupun gambargambar naga yang terukir jelas.
 Cerita seputar Pulau Sagori mirip Segitiga Bermuda (Bermuda Triangle) di Lautan Atlantik. Sagori juga menjadi kuburan bagi kapal-kapal yang berlayar mendekati pulau yang terletak 2,5 mil arah barat daya Pulau Kabaena itu.
 Perairan Segitiga Bermuda terbentuk oleh garis (lurus) imajiner yang menghubungkan tiga titik, masing-masing di Pulau Bermuda, Miami (AS), dan Puerto Rico. Di wilayah perairan segitiga itulah dunia selalu dikejutkan denngan hilangnya sejumlah kapal bersama penumpang dan awaknya tanpa bekas. Bahkan, pesawat terbang juga kerap kali hilang misterius di atas perairan itu tanpa bisa dideteksi. Karena itu, Segitiga Bermuda dikenal sebagai ”Kuburan Atlantik”.

Tragedi kapal VOC

 Kecelakaan laut terbesar di Sagori terjadi pertengahan abad ke-17 yang menimpa lima kapal milik VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Kerajaan Belanda di Asia Timur yang beroperasi di Nusantara untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Kelima kapal itu bersamaan menabrak karang dalam perjalanan iring-iringan dari Batavia menuju Ternate (Maluku Utara).
 Informasi agak lengkap tentang peristiwa empat abad silam itu dipaparkan Horst H Liebner, tenaga ahli bidang budaya dan sejarah bahari pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, saat mengikuti Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara IX di Bau-Bau, 5-8 Agustus 2005 lalu.
 Menurut Liebner, peristiwa kandasnya kelima armada VOC di karang Pulau Sagori pada 4 Maret 1650 itu amat menarik untuk diteliti lebih mendetail. Namun, dia mengaku belum sempat membaca keseluruhan naskah catatan harian awak kapal tersebut.
 Kelima kapal layar Belanda itu adalah Tijger, Bergen op Zoom (berdaya angkut 300 ton), Luijpaert (320 ton), De Joffer (480 ton), dan Aechtekercke (100 ton). Data daya angkut Tijger yang bertindak sebagai kapal komando tak disebutkan oleh Liebner. Seluruh penumpang (581 orang) dapat diselamatkan. Mereka terdiri dari awak kapal, serdadu, dan saudagar.
 Malapetaka tersebut sangat menyengsarakan seluruh penumpang yang terancam kekurangan perbekalan. ”Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami masih dapat menyelamatkan sedikit beras yang kering,” tutur Liebner mengutip jurnal yang ditulis salah seorang awak kapal.
 Lokasi kecelakaan merupakan daerah asing bagi para pelaut Belanda maupun dunia pelayaran umumnya di zaman itu. Pulau Kabaena yang terdekat dengan lokasi musibah, dalam laporan disebut  Penduduk setempat yang datang ke lokasi pada dasarnya bukan bermaksud menolong, tetapi menjarah seandainya tak dicegah oleh awak kapal. Penduduk yang dilukiskan sebagai ”orang hitam” diartikan Liebner sebagai etnis Sama (Bajo) yang mendiami pesisir Pulau Kabaena.
 Hal itu dibenarkan tokoh Bajo H Djafar alias Nggora (80-an). ”Orang Bajo datang membantu sambil mengambil kain untuk bahan pakaian,” tuturnya mengutip tradisi lisan masyarakat Bajo seputar kecelakaan lima kapal VOC 400 tahun silam itu.
 Setelah menjelang seminggu hidup di Pulau Sagori tanpa tanda-tanda kemungkinan adanya pertolongan, pimpinan pelaut Belanda memutuskan mengirim sebuah sekoci ke Ambon untuk melaporkan kecelakaan itu kepada Laksamana de Vlamingh.
 Mereka juga berusaha membuat sendiri kapal menggunakan bahan-bahan dari kapal yang telah pecah berantakan. Awak kapal menyelamatkan barang dagangan dan 87 pucuk meriam.
 Kapal hasil rakitan yang kemudian diberi nama Trostenburg (benteng pelipur lara) itu diluncurkan awal Mei, hampir bersamaan datangnya kapal bantuan pada 7 Mei 1650 yang dikirim atas perintah de Vlamingh. Kedatangan kapal bantuan itu sangat terlambat karena terhalang angin barat yang saat itu bertiup kencang.
 Tragedi segera berakhir ketika semua awak kapal bersama muatan dan meriam diangkut ke Batavia. Bangkai kapal tersebut kini masih tergeletak pada kedalaman sekitar lima meter di dasar laut Pulau Sagori. ”Mesin dan baling-balingnya masih ada,” tutur Uja’.
Sumber : hendragoh

Sejarah Awal Terbentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara

Sejarah Awal Terbentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara. Terbentuknya Sulawesi Tenggara tidak terlepas dari peran Kesultanan Buthuuni (Baca Buton), wilayah Sulawesi Tenggara saat ini sebagian besar merupakan wilayah Kesultanan Buthuuni.
Cikal bakal terbentuknya Sulawesi Tenggara diawali dengan ditandatanganinya Kortoverklaring pada tanggal 8 April 1906 yang diajukan oleh Residen Brugman untuk ditanda tangani
bersama diatas Kapal Perang Belanda de Ruyter pihak Kesultanan Buthuuni diwakili oleh Sultan Adil Rahim Muhammad Asikin (sultan ke-33). Kontrak Perjanjian itu pada intinya menyatakan bahwa Kesultanan Buthuuni telah mengakui bernaung dibawah kekuasaan Hindia Belanda, walaupun pemerintahan kesultanan masih tetap sepenuhnya dijalankan oleh Sultan Buthuuni. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan seperangkat personil administrasi dengan sejumlah pasukan seperlunya sebagai wakilnya di Kesultanan Buthuuni. Namun Kontrak Perjanjian itu menurut Belanda sudah merupakan kesepakatan bahwa Kesultanan Buthuuni bernaung dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda secara Administratif.
 Menindaklanjuti perjanjian tersebut maka Sistem pemerintahan Kesultanan Buthuuni dirubah pada tahun 1913 dibentuklah Distrik Distrik yang dikepalai oleh seorang Kepala Distrik. Di seluruh Kesultanan Buthuuni dan Barata terbentuk 22 Distrik yaitu :
1.  Bolio dikepalai oleh Laode Basani
2.  Batauga dikepalai oleh Laode Abdul Rahman
3.  Sampolawa dikepalai oleh Laode Abd.Hamid
4.  Pasar Wajo dikepalai oleh Laode Ali,
5.  Bungi dikepalai oleh Laode Mane,                   
6.  Kapontori dikepalai oleh Laode Umar,
7.  Lasalimu dikepalai oleh Laode Ibrahim,
8.  Gu dikepalai oleh Laode Madi,
9.  Mawasangka dikepalai oleh Laode Faha,
10. Katobu dikepalai oleh Laode Owo, 
11. Lawa dikepalai oleh Laode Tebe,
12. Tongkuno dikepalai oleh Laode Wolio,
13. Tiworo dikepalai oleh La Raaeta,       
  14.Kabawo dikepalai oleh Laode Gumba,
  15.Wakorumba dikepalai oleh Laode Santaonga,
  16.Kalingsusu dikepalai oleh Laode Gollah,
  17.Kabaena dikepalai oleh Laode Sumaidi,
18.Rumbia dikepalai oleh Entera,                   
19.Poleang dikepalai oleh Indowa,                        
20.Tomia dikepalai oleh Laode Taangi,                
21.Binongko dikepalai oleh, Laode Palisu,           
22.Kalidupa dikepalai oleh Laode Rawa, 
             Pada tahun 1919 Gouverneur Generaal bersama Raad van Indie memberlakukan “Zelfbestuursregelen” (Ordonansi 1919) tanggal 1 April 1920, sebagai pengganti Ordonansi 1914 yang merupakan tindak lanjut pembagian kekuasaan antara pemerintah Hindia Belanda dan Swapraja-swapraja yang diatur dalam Kontrak Perjanjian Panjang yang isinya berupa pengakuan, dimana pemerintah Swapraja mengakui kedaulatan Koninkrijk (Nederland) atas daerahnya, mengakui Swapraja sebagai suatu bagian dari pada wilayah Hindia Belanda, dan menyerahkan kekuasaan penuh kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur kedudukan Swapraja itu dalam ikatan Hindia Belanda, dengan menyatakan bahwa semua peraturan peraturan dan perintah perintah yang dikeluarkan oleh atau atas nama Pemerintah Hindia Belanda akan ditaatinya Bahwa asas asas Zelfbestuursregelen (Ordonansi tahun 1919) yang mulai berlaku 1 April 1920.
Dalam Zelfbestuursregelen itu pembagian kekuasaan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Swapraja-swapraja dengan “Pernyataan Pendek” itu diatur menurut azas-azas yang juga termuat dalam kontrak-kontrak panjang yaitu :
1.  Susunan pemerintahan intern Swapraja pada umumnya tetap berdasarkan “Adat-Istiadat Tradisionil” Kerajaan berangkutan.
2.  Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dalam daerah Swapraja hanya berlaku penuh bagi “warga Gubernuran” atau Gouvernements onderhorigen, Gouvernements Justisiabelen, dan bagi “warga Swapraja “ hanya sekedar sesuai dengan kekuasaan autonom yang dibiarkan kepada Swapraja itu.
3.  Kekuasaan autonom Swapraja itu meliputi hak mengatur, mengurus (termasuk Polisi) dan mengadili persengketaan hukum disemua lapangan yang tidak dengan nyata dikecualikan dari kekuasaan itu.
Pada tahun 1938 bertepatan dengan awal pemerintahan Muhammad Falihi Kaimuddin pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang Undang yang disebut “Zelf Bestuur Regeling” (Ordonansi l938 No.524), dimana Undang-Undang tersebut telah mengatur secara langsung kekuasaan pemerintahan kerajaan (Zelf Bestuurende Landschappen) yang berada dalam lingkungan Keresidenan Wilayah Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1940 melalui penetapan Gouvernour van Grote Ost (Gubernur Timur Besar) tanggal 24 Februari 1940 (No.21 Staadblaad 14377 menjadikan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara menjadi 7 buah Daerah Afdeling yitu :
1.  Afdeling Makasar, ibukotanya Makasar.
2.  Afdeling Bonthain, ibukotanya Bonthain.
3.  Afdeling Bone, ibukotanga Watampone.
4.  Afdeling Pare Pare, ibukotanya Pare Pare.
5.  Afdeling Mandar, ibukotanya Majene.
6.  Afdeling Luwu, ibukotanya Palopo.
7.  Afdeling Buthuuni dan Laiwui, ibukotanya Bau-Bau.
Afdeling adalah suatu Daerah otonom yang berstatus Kewedanaan yang dikepalai oleh seorang “Kontroleur”. Pemerintahan Afdeling dapat dikatankan tidak berjalan, sebab pada tahun 1941 pecah perang pasifik dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaan atas Hindia Belanda kepada Jepang.
Usai perang dunia kedua yang dimenangkan oleh sekutu, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Belanda yang tidak mau kehilangan daerah jajahannya membonceng pada NICA untuk masuk ke Indonesia dan berhasil menduduki  Jawa dengan bantuan sekutu. Perjuangan kemerdekaanpun berkobar-kobar yang akhirnya melahirkan Aksi Militer I dan II Belanda, melawan pejuang bangsa Indonesia di Jawa  dan daerah lainnya yang dianggapnya melawan ekstremis-ekstremis.
Bahwa status Kesultanan Buthuuni kembali diperbincangkan setelah terjadinya penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang merupakan bagian dari Hindia Belanda, sementara dalam uraian daerah- daerah Swapraja yang dinyatakan menjadi bagian Hindia Belanda tidak tercantum nama Kesultanan Buthuuni secara tersurat dalam daftar penyerahan Hindia Belanda kepada RIS.
Terakhir Belanda membentuk lagi sistem pemerintahan baru di  Sulawesi Selatan yang disebut “Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi”dengan pucuk pimpinan secara kolegiat (bersama) yang terdiri dari 5 (lima) orang sebagai Badan Pemerintah Harian dan didampingi seorang Sekretaris asal Belanda. Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi yang diampingi dan dibantu oleh Dewan Penasehat yang berjumlah 40 orang itu pada dasarnya adalah sistem yang akan menguatkan kedudukan Belanda, dimana hanya wujudnya banyak melibatkan pribumi atau pejabat kerajaan- kerajaan Gabungan tetapi kenyataan pemegang wewenang dan kekuasaan dalam Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi tersebut adalah Belanda. Oleh sebab itu Kesultanan Buthuuni tidak mengintegrasikan diri secara langsung pada sistem pemerintahan kolegiat itu yang berlangsung tahun 1948 - 1951. Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi itu tidak berjalan sebagaimana yang dikehendaki sebab Kerajaan Kerajaan gabungan yang menjadi anggotanya yang banyak melepaskan diri, sehingga sistem pemerintahan kolegiat didalamnya tidak lagi berjalan. Hal itu berkaitan dengan meningkatnya aktifitas menghadapi Konprensi Meja Bundar (KMB) dimana Negara Indonesia Timur akan menjadi Negara bagian RIS setelah penyerahan kedaulatan oleh Raja Belanda.
  Perlu diketahui bahwa Kesultanan Buthuuni yang memiliki kekuasaan dari sebagian besar Sulawesi Tenggara tidak termasuk wilayah Hindia Belanda yang dinyatakan berada dalam kekuasaan Negara Indonesia Timur (NIT) sejak masuknya Gubernur Jenderal Van Mook tanggal 20 oktober 1945 di Jakarta, sebab Wilayah yang dinyatakan dalam kekuasaan NIT adalah wilayah wilayah yang secara de facto telah dikuasai oleh Belanda yaitu Sulawesi Selatan dan Maluku selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara, beberapa Kota Besar di Jawa dan Sumatera, menyusul wilayah yang dikuasai pada aksi Militer Belanda tahun 1947 yaitu Pulau Madura, Jawa Timur, sebagian Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Timur termasuk Bangka dan Belitung dimana dalam hal itu Kesultanan Buthuuni tidak dicantumkan sebagai wilayah kekuasaan Hindia Belanda itu. Kesultanan Buthuuni tidak dalam kekuasaan NIT yang dipandang merupakan bagian  Hindia Belanda yang akan diserahkan menjadi Negara Negara Bagian RIS dalam KMB, sebab Buthuuni terbukti tidak pula mengirim wakilnya atau utusannya pada Konperensi Den Pasar tanggal 7 Desember 1946 yang terdiri dari 55 wakil Daerah yang tergabung dalam Groote Ost dalam rangka penetapan keputusan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Dapat pula kita perhatikan bahwa Kesultanan Buthuuni tidak turut pada pertemuan politik di Malino tanggal 16-24 Juli 1946 maupun lanjutan pertemuan itu di Pangkal Pinang tanggal 1-12 Oktober 1946 yang merupakan dasar Konperensi Den Pasar tersebut diatas.
  Demikian perkembangan keadaan di Indonesia dan status Kesultanan Buthuuni sebelum pelaksanaan KMB tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 3 September 1949 di Den Haaq Negeri Belanda.
 Pada tanggal 27 Desember 1949 mulai berlaku Konstitusi RIS dan berdasarkan Konstitusi itu, kekuasaan konstitusi Negara Negara dan Daerah Daerah Bagian tetap berlaku. Berdasarkan Undang Undang Federal ex pasal 44 Konstitusi RIS tahun 1950 semua Negara Negara dan Daerah Daerah Bagian “dipulihkan” kedalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia,  kecuali Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatera Timur (NST) dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, sehingga dengan demikian kembali kepada Konstitusi 17 Agustus 1945 dan UU No.22 tahun 1948. Pada tanggal 17 Agustus 1950 mulai berlaku Konstitusi RI 17 Agustus 1950, sehingga secara otomatis berakhirlah Konstitusi RI 1945 serta Staatsregeling NIT dan NST dan Kalimantan Barat. Dengan berlakunya Konstitusi RI 17 Agustus 1950 itu status Pemerintah daerah dan daerah-daerah Swapraja yang berada dalam kekuasaan de facto Belanda menjadi jelas pijakannya yaitu diatur dalam Bab IV pasal 131, 132, dan 133. Sedang bagi kerajaan- kerajaan Swapraja yang tidak berada dalam kekuasaan NIT, NST dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat belum terikat dengan Undang-Undang RI 17 Agustus 1950 tersebut.  Adapun ketentuan Pasal 131, 132 dan 133 Undang Undang 17 Agstus 1950 tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 131 menentukan bahwa :
1.  Undang Undang membagikan wilayah Indonesia atas Daerah Daerah Autonom, besar dan kecil, dan menetapkan bentuk bentuk pemerintahannya yang harus bersifat demokratis menurut sistem perwakilan. (131 ayat 1).
2.  Autonominya harus bersifat seluas luasnya (131 ayat 2).
3.  Dengan Undang Undang dapat diserahkan “Medebewind” kepadanya (131 ayat 3).
Pasal 132 menentukan bahwa :
1.  Kedudukan (status) Swapraja-swapraja diatur dengan Undang- Undang dengan mengingat ketentuan ketentuan pasal 131 (132 ayat 1).
2.  Swapraja-swapraja yang ada hanya dapat dihapuskan atau diperkecil :
a.  dengan kehendaknya sendiri.
b.  Melawan kehendaknya sendiri, sesudah Undang-Undang memberi kuasa kepada pemerintah beralasan “kepentingan umum”.
3.  Persengketaan hukum tentang Undang-Undang yang mengatur kedudukan Swapraja-swapraja dan cara menjalankannya (Administratieve Rechtspraak) diadili oleh pengadilan pengadilan tersebut dalam pasal 108 yaitu : Pengadilan Perdata Biasa (Gewone Burgerlijk Rechters) atau alat-alat perlengkapan lain (132 ayat 3).
Pasal 133 menentukan bahwa jo (142,143 ketentuan ketentuan peralihan umum) bahwa :
      Menunggu Undang-Undang yang mengatur keadaan Swapraja-swapraja peraturan peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa pejabat pejabat (fungsionaris) Daerah Daerah Bagian (Negara Negara dan Daerah Daerah Bagian RIS) yang tersebut dalam peraturan peraturan itu diganti dengan pejabat pejabat RI.
Maksud dari beberapa pasal Undang-Undang ini ialah agar kedudukan dan susunan pemerintahan intern daripada semua daerah-daerah Autonom, baik Daerah biasa, maupun Daerah Istimewa (Swapraja) didasarkan atas Undang-Undang. Dalam hal ini ada maksud bahwa daerah-daerah Autonom dengan pengaturan (Regeling) dan mengurus (Bestuur) itu dikendalikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih oleh rakyat dengan jangka waktu yang ditetapkan 5 tahun. Berkenaan dengan hal ini maka DPR memilih diantara anggota-anggotanya suatu Dewan Penyelenggara Harian yaitu Dewan Pemerintah Daerah (Dagelijks Bestuur, Comite Executive) yang bekerja semata mata sebagai penyelenggara keputusan keputusan DPR sesuai dengan pedoman (instruksi) yang ditetapkan DPR yang disahkan oleh Instansi Pengawas Atasan yang diatur pada pasal 15,1,2 UU 17 Agustus 1950. Jadi mengatur yang dimaksudkan disitu ialah tentang “mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya”, yang dilaksanakan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan bagi Daerah Autonom biasa Kepala Daerah Administrtif yang merangkap sebagai Ketua DPD. Dalam Daerah Autonom Biasa “fungsionaris” DPD Propinsi diangkat oleh Presiden, fungsionaris DPD Kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Bagi Daerah Istimewa (Swapraja), fungsionaris baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Desa diangkat oleh Presiden dari keturunan kelurga yang berkuasa (Raja/Sultan) di Daerah Istimewa itu sebelum Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Kepala Daerah Autonom biasa dapat diberhentikan oleh yang berwajib (yang mengangkatnya) sesuai usul DPR, sedang Kepala Daerah Istimewa tidak melalui usul DPR.
Khusus Kepala Daerah Istimewa pemberhentiannya hanya dapat dilakukan atas “kehendak Swapraja” itu sendiri yaitu bilamana atas kehendak rakyat Daerah Swapraja. Oleh karena itu Sultan Buthuuni tidak dapat diberhentikan oleh Presiden sebab tidak ada lagi wakil rakyat Swapraja Buthuuni yang membuat usul pemberhentian Sultan berdasarkan Undang Undang 17-8-1950. Itulah sebabnya sehingga Persiden Soekarno memberikan pesan dari hati kehati kepada Sultan Buthuuni bahwa : “apabila Sultan Buthuuni Muhammad Falihi telah mangkat maka tidak dibolehkan lagi mengangkat Sultan Buthuuni yang baru”, pesan mana dinyatakan oleh Presiden Soekarno atas nama pribadi pada pertemuan Raja Raja di Sungguminasa Makasar tahun 1954.. Mengawali pertemuan khusus dengan Sultan Buthuuni itu Presiden Soekarno telah bertanya kepada Sultan Buthuuni tentang “apa maunya Buthuuni”, tetapi Sultan hanya menerangkan bahwa Presiden Soekarno sendiri lebih tahu apa maunya Buthuuni, sebab Buthuuni berintegrasi dengan Negara RIS selanjutnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah berdasarkan kesepakatan tanpa didukung oleh Undang-Undang dan ketika itu Sultan sendiri berbicara dengan Soekarno bulan Desember tahun 1950. Itulah sebabnya sehingga Sultan Muhammad Falihi tidak bisa memberikan jawaban kesimpulan ketika ditanya oleh Presiden Soekarno, dan lagi pula seorang Sultan tidak mempunyai hak  untuk mengambil keputusan tentang nasib Buthuuni tanpa persetujuan Sara Kesultanan Buthuuni sebab beliau hanya bisa memberikan jawaban sesuai dengan persetujuan Sara Kesultanan yang ketika itu sudah dibekukan oleh Pemerintah RI secara sepihak. Sultan Buthuuni hanya berkata sebagai “Yapai bula yapai kalipopo, kukamatea kaa pokana kanamo”. Artinya : dimana bulan dimana bintang saya lihat sudah  sama saja. Maknanya : bahwa pada prinsipnya nasib Buthuuni berintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sama saja dengan  jika Buthuuni berdiri sendiri sebagai Kesultanan yang bebas (merdeka). Ketika itu kenyataan kehidupan kemakmuran Kesultanan Buthuuni jauh lebih baik dari pada kehidupan bangsa Indonesia yang baru saja mendapat kedaulatannya dari Belanda melalui KMB.    
Pesan atau Instruksi Presiden Soekarno tersebut sesungguh nya bertentangan dengan maksud pasal 131,132,133 Undang- Undang 17 Agustus 1950 yang berlaku saat itu, sebab tidak berpijak pada asas kemauan rakyat Daerah Swapraja Buthuuni  dan tidak terlebih dahulu ditetapkan dengan Undang-Undang penghapusan ataupun pemulihan status yang disetujui dan disahkan oleh Parlemen RI atas dasar kemauan  rakyat daerah Swapraja Buthuuni sesuai ketentuan Bab IV Pasal 132 ayat 1 dan 2a Undang Undang 17 Agustus 1950  Pasal 142 dan Pasal 143 tentang ketentuan ketentuan peralihan umum. Bagi Buthuuni ketika itu tidak dapat diperlakukan dengan Undang-Undang Darurat sebab Buthuuni bukan wilayah de facto Hindia Belanda ketika penyerahan Hindia Belanda kepada RIS.
Sebagai suatu perbandingan dapat diperhatikan pemberlakuan UU. 17 Agustus 1950 terhadap Daerah Swapraja di Indonesia dibawah ini :
1.  Swapraja-Swapraja Surakarta dan Mangkunegara dihapuskan dengan Penetapan Pemerintah RI 1946 No.16 / S.D. dan dijadikan Keresidenan yang dengan UU.RI. 1950 No.10 dimasukkan kedalam Propinsi Jawa Tengah.
2.  Swapraja-swapraja Jokyakarta dan Paku Alam dengan UU.RI. 1950 No.3 (jo.1950 No.19. P.P.1950 No.31) dijadikan daerah Istimewa Jokyaktarta dengan tingkat Propinsi (UU.1948 No.22).
3.  Swapraja-swapraja di Sumatera dalam bulan Maret 1946 dihapuskan oleh “Revolusi Sosial”.
4.  Neo Landschap Bangka, Billiton dan Riau (Ind.Staadsblad 1947 Nos.123-125 jo.1948 No.189) dan Federasinya (Ind. Staadsblad 1948 No.123) dihapuskan, waktu daerah-daerah itu dipulihkan (Berita Negara RIS 1950 No.23).
Swapraja-Swapraja yang ditetapkan statusnya dengan Penetapan Pemerintah RI diatas semuanya berpijak  atas kemauan rakyat dari Daerah Swapraja itu sendiri sesuai Pasal 132 ayat 1 dan 2a UU. 17 - 8 - 1950. Oleh sebab itu penetapan status Kesultanan Buthuuni sebagai Daerah status Keresidenan ataupun Swatantra  terlebih lagi sebagai Kabupaten bertentangan dengan Undang Undang, kecuali atas kemauan Rakyat Buthuuni sendiri. “Kemauan Rakyat Sendiri” (kunci legalitas penetapan status  daerah Swapraja menurut Undang Undang RI 17 Agustus 1950).
Adanya ketentuan penghapusan dan pemulihan berdasar Undang Undang tersebut diatas, hanya Kalimantan dan dibekas wilayan NIT masih terdapat sejumlah Swapraja-swapraja dan Neo Landschappen. Akan tetapi dalam sebagiannya Organ Organ-nya telah “bubar dan dibekukan” hal mana berlawanan dengan Konstitusi 17 Agustus 1950. (G.J. Wolhoff 1960. ibid). Disamping itu Kesultanan Buthuuni  juga tidak dihapus oleh UU. Darurat NIT 1950 No.44, sehingga dengan demikian tidak ada alasan hukum untuk menghapuskan Swapraja Buthuuni sebagai Kesultanan yang berdaulat secara hukum, yang memiliki wilayan territorial secara de facto dan mendapat pengakuan secara de jure atas eksistensinya selaku Kerajaan berdaulat. Dan itulah juga sebabnya sehingga Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin diam /menolak setelah mendengarkan Istruksi Presiden Soekarno untuk menghapuskan Kesultanan Buthuuni setelah Sultan meninggal, dimana Presiden atas imbalan Instruksinya tersebut menjanjikan hal-hal sebagai berikut :
1.  Apabila Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Semarang dan Bandung  telah dibangun maka Buthuuni akan dibangun pula. (Sebagaimana diketahui janji ini tidak pernah dilaksanakan sampai dengan wafatnya Sultan Muhammad Falihi pada tanggal 23 Juli 1960 dan wafatnya Soekarno tahun 1970).
2.  Undang Undang Pertanahan akan diberlakukan juga di Buthuuni yang telah dilakukan kemudian sesuai Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No.104).
Maka hal penting yang menjadi pertanyaan rakyat Buthuuni adalah “legalitas apa yang digunakan pemerintah Hindia Belanda atau RIS ataupun Republik Indonesia untuk menghapus Kesultanan Buthuuni yang mempunyai Rakyat, mempunyai wilayah territorial de facto, mempunyai status hukum de jure dan mempunyai bentuk dan wujud formal pemerintahan sendiri, dengan kebudayaan dan peradaban sendiri, yang sudah bereksistensi 7 (tujuh) abad itu ?, dimana sebelum Hindia Belanda atau RIS ataupun RI lahir, Buthuuni sudah diakuai keberadaannya sebagai sebuah Negara Kerajaan dalam lintas Kerajaan Kerajaan di Nusantara?”. Sudah tentu berdasarkan atas pengakuan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” sebagaimana menjadi Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 hal ini perlu menjadi koreksi sejarah, tanpa mengabaikan bahwa Kesultanan Buthuuni adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1950 melalui proses “intergrasi” berdasarkan inisiatif Sultan Muhammad Falihi sendiri tanpa persetujuan atau rekomendasi persetujuan tertulis dari Sara Kesultanan, sebab ketika itu Sara Kesultanan telah dihapuskan berdasarkan keinginan sepihak oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyusul pelaksanaannya secara formal  dilakukan melalui “demokrasi Sering” yang dijalankan oleh Kaharuddin Syahadat tahun l952 sehubungan dengan intergrasi  kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah berlaku sejak tahun 1950. Kesultanan Buthuuni seyogyanya wajib diperlakukan sama dengan Daerah Istimewa Jokyakarta oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengingat status Kerajaan atau Kesultanan Buthuuni yang merdeka dari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda ketika penyerahan kedaulatan tahun 1949 melalui KMB, yang juga sebelumnya dikuatkan pula oleh kenyataan jatuhanya Pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang tahun 1942 dimana Buthuuni kembali merdeka sepenuhnya sesuai sejarah eksistensinya.
Kemudian pada tahun 1952 terbentuk 7 (tujuh) Daerah Swatantra di Sulawesi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 1952 (Lembaran Negara 1952/48 TLN 263). Ketujuh daerah swatantra itu adalah :
1.  Daerah Makasar ibukotanya Makasar
2.  Daerah Bonthain ibukotanya Bonthain
3.  Daerah Bone ibukotanya Watampone
4.  Daerah Pare-Pare ibukotanya Pare-Pare
5.  Daerah Mandar ibukotanya Majene
6.  Daerah Luwu ibukotanya Palopo
7.  Daerah Sulawesi Tenggara ibukotanya Bau-Bau
      Daerah Swatantra Sulawesi Tenggara dipimpin oleh Kepala Daerah Abdul Razak Baginda Maharaja Lelo. Dalam hal ini Kesultanan Buthuuni tetap berjalan dalam status Self Bestuur Buthuuni sebagaimana biasa sesuai “Adat demokrasi pemerintahan Kesultanan Buthuuni”, walaupun organ-organ Kesultanan seperti Sara Kesultanan telah dibekukan melalui demokrasi shering, sehingga Sultan sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Swapraja Buthuuni hanya didampingi oleh suatu Dewan yang terdiri dari 4 (empat) orang anggota Daerah Swapraja Buthuuni yaitu :
1.  Laode Falihi, Kepala Daerah Swapraja Buthuuni
2.  Laode Hibali anggota.
3.  Laode Muhammad Hanafi, anggota.
4.  La Madju, anggota.
5.  Abdul Hasan, anggota.
      Pada tahun 1959 Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin turut dalam pertemuan untuk membicarakan peningkatan status Sulawesi Tenggara sebagai Daerah Tingkat I dan peningkatan status Muna sebagai Daerah Tingkat II yang juga dihadiri oleh Raja Muna Laode Pandu.
Berdasarkann Perpu No. 2 tahun 1964, Jucto UU Nomor 13 tahun 1964 Sulawesi Tenggara lahir dan menjadi Daerah Otonom Tingkat I dan pelaksanaan serah diterimah dilakukan pada tanggal 27 April 1964 dengan Gubernur yang pertama J. Wayong ( 1964 – 1965 ). Dengan penetapan ini maka Sulawesi Tenggara menjadi Propinsi yang berdiri sendiri yang meliputi empat ( 4 ) daerah tingkat II yakni Buthuuni, Muna, Kendari dan Kolaka. Wilayah Sulawesi Tenggara ditetapkan secara geografi berada di jazirah bagian selatan Garis Khatulistiwa memanjang dari Utara ke Selatan  di antara 3 derajat – 6 derajat LS dan membentang dari Barat  ke Timur di antara 120 derajat 45 menit - 124 derajat 60 menit dengan empat kabupaten, yaitu Kabupaten Buthuuni, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka. Sulawesi Tenggara disebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi NTT di Laut Flores, di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Maluku di Laut Banda dan di sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan di Teluk Bone.
Diusianya yang ke 47 ini Propinsi Sulawesi Tenggara telah dimekarkan menjadi 12 kabupaten dan kota dan telah dijabat oleh delapan ( 8 ) Gubernur . Adapun Gubernur yang pernah menjabat di Sulawesi Tenggara adalah :
1.  J. Wayong ( 1964 – 1965 )
2.  La Ode Hadi ( 1965 – 1965 )
3.  Edi Sabara ( 1966 – 1978 )
4.   Drs. Abdulah Silondae ( 1978 – 1982 )
5.  Ir. H. Alala dua periode ( 1982 – 1987, 1987 – 1992 )
6.  Drs. La Ode Kaimoeddin dua periode (1992 – 1997, 1997 – 2002)
7.  Ali Mazi, S.H ( 2003 – 2008 )
8.  Nur Alam, SE ( 2009 – Sekarang )

Sumber : segagratis

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More